Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah kegagalan kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) di Indonesia.
Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Pemulihan aset milik para korban pelanggaran HAM berat dalam rangkaian peristiwa 1965/1966, yang 'dirampas paksa' di awal Orde Baru, merupakan bentuk ‘pengakuan atas penyelesaian yang tulus’ atas kesalahan masa lalu, kata sejarawan.
Setelah peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal TNI Angkatan Darat (AD) pada akhir September 1965, orang-orang yang dituduh pimpinan, anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu.
PKI - yang kemudian dibubarkan - saat itu dituduh sebagai dalang peristiwa kekerasan itu, yang disebut sebagai bagian dari upaya kudeta yang gagal.
Sebagian dari mereka lalu dibunuh, dipenjara, dan lainnya dibuang ke Pulau Buru selama belasan tahun tanpa diadili lebih dulu.
Pada saat bersamaan, aset milik mereka - berupa rumah, tanah, hingga kantor - kemudian dilaporkan "dirampas secara paksa" oleh institusi negara, perorangan, atau kelompok.
Baca juga: Berikut Komitmen Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Industri Kelapa Sawit
Kini, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal Januari 2023 lalu mengakui dan menyesalkan peristiwa 1965/1966 sebagai pelanggaran HAM berat, muncul desakan dari sebagian keluarga korban agar aset-aset mereka dipulihkan.
Untuk memulihkan luka korban pelanggaran HAM Berat tersebut, Jokowi meluncurkan program Pelaksanaan Rekomendasi Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Kegiatan ini digelar di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/06/2023) siang.
“Pada hari ini kita berkumpul secara langsung maupun virtual di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban,” ucap Presiden.
Jokowi mwenekankan, ini merupakan langkah awal dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
“Ini adalah langkah awal dimulai dari Aceh, dari Pidie,” ucap Presiden dalam keterangan pers setelah peluncuran.
Presiden mengatakan, alasan peluncuran program dilaksanakan di Aceh khususnya di Kabupaten Pidie karena di tempat ini tersimpan kisah dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.
“Di sini memang ada tiga peristiwa, di Pidie Rumah Geudong, di Simpang KKA, dan di Jambo Keupok,” imbuhnya.
Sebelumnya, pada bulan Januari lalu, pemerintah telah memutuskan untuk menempuh jalur nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia dengan mengedepankan pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial.
Pada kesempatan tersebut, Suryo dan Sudaryanto merupakan mahasiswa Indonesia di Ceko dan Rusia menceritakan kisahnya yang tidak bisa kembali pulang ke Indonesia saat peristiwa tahun 1965
“[Saya] tidak bisa kembali [ke Indonesia] karena saya dicabut paspor,” ucap Suryo Martono saat berbincang dengan Presiden Joko Widodo dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, Selasa (27/06/2023).
Suryo bercerita bahwa pada tahun 1965, dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Kemudian pada 30 September 1965 terjadi peristiwa di tanah air yang mengakibatkan dicabutnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana.
“Saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko waktu itu dicabut semua (paspornya) karena tidak mau, kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru,” cerita Suryo.
Sementara itu, Sudaryanto Priyono, bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia.
“Karena saya tidak memenuhi syarat skrining terhadap itu dilakukan di mana, di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno, ini yang langsung tidak saya terima, dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya menerima surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan,” tuturnya yang turut berbincang bersama Presiden.
Dalam kesempatan terpisah, Suryo pun mengapresiasi program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat. Suryo menilai hal tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap para korban.
“Jadi ini walaupun mungkin tidak memuaskan semua pihak tapi buat saya pribadi ini merupakan langkah yang berarti untuk memberikan ketentuan bahwa ini diurusi dengan sangat serius dan tanpa pamrih,” tuturnya.
Suryo pun berharap agar hal serupa tidak terjadi kembali kepada generasi muda saat ini.
“Agar generasi muda dan yang akan datang tidak mengalami nasib-nasib yang kita alami, bukan seperti kita tapi seperti 12 kasus HAM berat yang telah terjadi,” ucapnya.
Sementara itu, Sudaryanto menyebut bahwa langkah yang diambil pemerintah ini merupakan langkah yang penuh keberanian dan menunjukan kebijaksanaan yang penuh dengan tanggung jawab.
“Kami tidak menyangka bahwa pemerintah masih peduli dengan kami yang ada di luar, dan ini menunjukkan kebijaksanaan Pak Jokowi yang cukup tinggi, kebijaksanan yang penuh tanggung jawab,” tandasnya.
Lihat juga:
3,3 Juta Hektare Lahan Sawit Masuk Kawasan Hutan, Luhut: Diputihkan
Izin Usaha Asuransi Kresna Life Resmi Dicabut OJK
Luhut Uji Coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Kecepatan Maksimum 385 Km/Jam
Pemerintah Cabut Status Pandemi Covid-19, Indonesia Masuki Masa Endemi
Tambah Hari Libur Cuti Bersama Iduladha 1444 H, Jokowi: Untuk Dorong Ekonomi
Tonang S
Editor: Rianto
0 comments:
Post a Comment