Kuliah Umum ini dikemas melalui Program “Obrolan dan Pendapat Intelektual dari Nommensen untuk Indonesia” (OPINI) Seri-2 yang digelar atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).
Diskusi ini dilaksanakan dengan menghadirkan sejumlah Narasumber diantaranya Dr. Janpatar Simamora, SH., MH (Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen), Saurlin Siagian (Aktivis), Prof. Dr. Posman Sibuea (Akademisi), Rocky Pasaribu, SH., MH (Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM) dan Jonner Sipahutar (Dinas Kehutanan Prov Sumut) serta dimoderatori oleh Marsen Sinaga dan diikuti oleh dosen dan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.
Janpatar Simamora yang sekaligus pernah menjadi Ketua Tim dalam Penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba dan Kabupaten Samosir menjelaskan bahwa terdapat konflik hukum dalam proses penyelesaian konflik agraria, yaitu antara hukum formal dan hukum kebiasaan, akan tetapi hukum formal memiliki kuasa lebih besar.
Pakar hukum tata negara ini juga mengemukakan bahwa masyarakat adat sebagai pemilik pertama wilayah adat belum sepenuhnya dilindungi negara. Buktinya, Perda yang beliau susun belum berhasil diimplementasikan dengan baik oleh Pemkab Toba dan Samosir.
"Padahal kita sering menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya, tetapi negara kita justru belum sepenuhnya menghargai historis keberadaan masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka," ucap jebolan Magister Hukum UGM ini.
Baca juga: Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen “Keadilan Untuk Rakyat Miskin”
Pada kesempatan tersebut, Rocky Pasaribu dari KSPPM memaparkan fakta-fakta yang ditemukan di wilayah pendampingan KSPPM. KSPPM Bersama Aman Wilayah Tano-Batak mengajukan seluas 27 ribu ha wilayah adat yang berhadapan dengan berbagai konflik yaitu Kawasan Hutan, Konsesi PT TPL, Proyek Pariwisata dan Food Estate dan 6.800 hektar sudah diakui dan dikembalikan kepada masyarakat adat.
"Dalam proses menuntut pengakuan dari negara, masyarakat adat mengalami banyak tantangan khususnya ketika berhadapan dengan Tim Verfikasi. Keberadaan mereka sebagai masyarakat adat seakan-akan diragukan oleh negara. Negara menaruh curiga kepada mereka padahal sudah ratusan tahun masyarakat adat menguasai wilayah adatnya," kata Rocky.
Adapun dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara yang diwakili oleh Jonner Sipahutar mengakui bahwa prestasi mereka belum cukup menggembirakan dalam proses penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara.
Baginya, hukum tertulis yang ada bisa jadi belum mampu sepenuhnya menjawab keinginan masyarakat adat.
Sementara Prof. Posman Sibuea juga mendukung perjuangan masyarakat adat yang berdarah-darah mempertahankan wilayah adatnya.
Industri tidak menjawab kegelisahan masyarakat adat yang kesehariannya bercocok tanam atau bertani. Keberadaan PT TPL hanya menjadi bencana di Tano Batak. Menurutnya, industri ini menciptakan krisis air, kemiskinan petani, kerusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup.
“Kita sekarang harus mengamankan pangan kita. Kedaulatan pangan sejalan dengan kedaulatan petani. Kedaulatan petani terwujud jika hak atas tanahnya jelas," ucap Prof. Posman Sibuea.
Diskusi ini digelar sebagai bagian dari upaya mempublikasikan buku-buku yang diterbitkan KSPPM.
Dalam tiga tahun terakhir, KSPPM telah menerbitkan tiga buku (Tombak Haminjon Do Ngolu Nami, Mangan Sian Tano Ni Ompung, dan Nunga Leleng Hami Mian di Son).
Diskusi ini membahas buku terakhir dimana buku ini menjelaskan bagaimana kesulitan masyarakat adat ketika diperhadapkan dengan negara dalam menuntut pengakuan atas hak-hak tradisionalnya.
Keberadaan Narasumber diskusi yang berasal dari lintas profesi, yakni aktivis, akademisi, serta pihak pemerintah membuat suasana diskusi menjadi menarik dan terdapat berbagai perspektif dalam mengkaji persoalan-persoalan agraria yang sedang dihadapi masyarakat adat.
Adapun peserta diskusi terdiri dari berbagai kalangan seperti dosen, mahasiswa dan tim KSPPM. Para peserta sangat antusias mengajukan pertanyaan kepada para narasumber.
Pertanyaan-pertanyaan lahir dari kegelisahan terhadap hak-hak masyarakat adat yang belum dijamin oleh negara. Sesi diskusi buku ini berhasil membuat isu masyarakat adat dibahas oleh semua kalangan, baik akademisi, mahasiswa, pejabat dan masyarakat perkotaan.
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen diharapkan menjadi stakeholder yang tepat karena akademisi-akademisi yang berasal dari kampus memang diharapkan berkontribusi dalam penyusunan kebijakan yang lebih baik di masa depan.
Lihat juga:
Dr. Janpatar Simamora Resmi Dilantik Sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen 2022-2026
Puluhan Warga Mandailing Natal Keracunan Gas, Bupati Minta PT SMGP Bertanggung Jawab
36 Dari 101 Korban PHK Kembali Gugat RS Marta Friska Medan Unit Usaha PT Karya Utama Sehat Sejahtera
"Deklarasi Forjuba" Bupati Nikson: Usulan Untara, Menanti Keputusan Jokowi
Redaksi
Editor: Firmanto
0 comments:
Post a Comment