Massa yang melakukan aksi di kantor DPR RI yang mengatasnamakan MPPK mendesak agar Presiden dan DPR RI harap menindaklanjuti aspirasi dari mahasiswa dan pemuda ini terkait akan hal persetujuan Indonesia memiliki akses pertama ke vaksin Novavax, yang akan diproduksi di India dengan merek Covovax.
Menurut Penanggung Jawab Aksi Awaludin, bahwa COVID-19 masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia.
"Tentu Virus ini telah menjadi momok bagi sendi-sendi kehidupan dalam segala aspek utamanya bagi sektor kesehatan dan ekonomi," kata Awaludin, selaku Penanggung Jawab aksi, Rabu (3/11/2021).
Ia melihat bahwa Pemerintah Indonesia pun terus berupaya agar virus COVID-19 ini dapat diputus mata rantai penyebarannya dengan melakukan vaksinasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Awaludin menambahkan bahwa bila proses vaksinasi ini pun melibatkan berbagai elemen bangsa mulai dari pemerintahan itu sendiri hingga pada lembaga-lembaga kepemudaan di Republik Indonesia.
"Namun pertanggal 1 november 2021, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan adanya informasi dari salah satu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang vaksin yakni Novavax yang menyebutkan bahwa jenis vaksin ini telah mendapatkan Emergency Use Authoriziation dari BPOM Republik Indonesia," ucap Awaludin.
"Tentunya ini menjadi pertanyaan besar, dikarenakan di Negara asalnya sendiri yakni Amerika Serikat, perizinan darurat vaksin tersebut masih tertunda dan masih berdialog dengan FDA AS," sautnya.
Baca juga: 'Partai Buruh Hidup Kembali' dari Era Reformasi Bakal Ikut Pemilu 2024
Dengan dasar argumentasi bahwa Novavax belum mendapatkan EUA di Amerika Serikat, maka kami dari MPPK dengan ini menganggap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan kekeliruan terkait bentuk perizinan yang diberikan kepada Novavax tersebut.
Oleh karena itu, kami kemudian melayangkan tuntutan terkait Novavax yang mendapatkan EUA yakni sebagai berikut:
1. Mempertanyakan keputusan BPOM terkait EUA terhadap Novavax dan meminta kepada Kepala BPOM untuk di copot.
2. mendeksak kepada BPOM untuk tidak mengeluarkan izin EUA terhadap semua vaksin covid 19 khususnya Novavak sebelum ada izin EAU dari negara yang membuat vaksin novavak.
3. Meminta kepada Menteri Kesehatan (Menkes) untuk membatalkan penggunaan vaksin novavax yang akan di datangkan ke Indonesia.
4. Meminta kepada DPR RI untuk memanggil Menteri Kesehatan dan juga Kepala BPOM terkait perizinan vaksin Novavax di Indonesia.
5. Meminta kepada DPR RI untuk memberikan sangsi kepada menteri kesehatan dan kepala BPOM terkait pengadaan vaksin novavak dan izin eua vaksin novavak.
"Lima tuntutan ini menjadi bagian dari aspirasi rakyat Indonesia dan berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI untuk melakukan evaluasi kepada lembaga-lembaga terkait, terutama BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI," tutup Awaludin.
Diketahui, Indonesia sendiri akan menjadi negara pertama yang menyetujui vaksin COVID-19 Novavax, menurut pengumuman perusahaan yang berbasis di Gaithersburg, negara bagian Maryland, Amerika Serikat (AS), itu pada Senin (1/11/2021).
Persetujuan bakal membuat Indonesia memiliki akses pertama ke vaksin Novavax, yang akan diproduksi di India dengan merek Covovax.
Sebagai informasi, Novavax menggunakan teknologi berbeda dari vaksin-vaksin corona lainnya yang telah mendapatkan persetujuan umum dan beredar di seluruh dunia.
Berbeda dengan produk mRNA dari vaksin Pfizer-BioNTech, vaksin Moderna, dan vaksin Curevac, dua dosis vaksin Novavax mengandalkan teknik yang lebih tradisional, yaitu protein untuk membawa fragmen virus corona yang tidak berbahaya untuk menghasilkan reaksi kekebalan.
Lihat juga:
Kejati Jabar Tahan 2 Tersangka Kasus Korupsi Pelaksanaan RTH Kawasan Taman Alun-Alun Indramayu
Kuota 800.000 Peserta Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 20 Siap Dibuka
Berikut Alasan Vaksin AstraZeneca Jarak Dua Dosis Hingga 12 Minggu
KTT G20, Pemerintah Gencarkan Pembangunan Fasilitas Kesehatan, Telekomunikasi, Infrastruktur dan Siapkan 5 DPSP
Perkuat UMKM, Berikut Komitmen Pemerintah Berikan Kebijakan Bantuan
Penulis: Mulkadin
Editor: Firmanto
0 comments:
Post a Comment