Forumpublik.com | Kita kini sudah merasakan pengalaman sama dan merata. Setiap pagi buka Grup Whats Apps (WA) -- komunitas apapun--hanya berita duka yang dominan. Tentang tokoh publik, kawan, tetangga, sahabat, bahkan keluarga terdekat yang wafat. Sekurangnya, pemberitahuan terpapar virus COVID-19 sekeluarga, atau satu rumah. Dan, tidak bisa ditampung di RS, dan tidak bisa mendapatkan obat-obatan. Vaksin saja pun harus bayar kepada BUMN, kalau ingin cepat.
Pengeras suara di komplek sudah sebulan aktif mengumumkan berita duka. Tiap waktu. Semua itu telah terkonfirmasi dalam update data harian Satgas COVID-19 yang diumumkan ke publik.
Dua hari berturut-turut, Senin - Selasa (12-13 Juli) ini saja, data penyebaran virus COVID-19 di Tanah Air menembus angka 40 ribu kasus positif dengan kematian yang juga tinggi.
Hari Selasa (13/7) malah sebanyak 47.899 jiwa yang terpapar. Mengantarkan Indonesia dua hari ini menempati posisi tertinggi di dunia. Lihat juga grafis beberapa lembaga dan instansi, yang memperlihatkan kenaikan itu seperti peluru kendali yang melesat di sisi paling kanan grafik..
Itulah tampaknya dampak paling nyata dari penyebaran virus COVID-19 dari berbagai varian baru seperti yang dikemukakan parah ahli. Juga yang "diteriskkan" oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Peringatan itu jelas pesannya : agar pemerintah pusat mengendalikannya tidak dengan dengan cara-cara biasa.
Begitu saja pun ( rekor tertinggi dunia) bukanlah angka real di Tanah Air. Dari 100 % testing yang menghasilkan jumlah positif itu, 50 % nya testing di DKI. Sisa hasil testing diperoleh dari 33 provinsi yang jumlah penduduknya sekitar 250 juta jiwa.
Mudah- mudahan angka itu bisa ditekan oleh PPKM Darurat yang datanya baru akan kita lihat 17 Juli. Memang benar data-data dua minggu terakhir di Indonesia termasuk yang memecahkan rekor dunia, adalah perolehan sebelum PPKM Darurat yang dimulai 3 Juli lalu.
Baca juga: Mungkinkah Pangkalan Militer Asing Diperlukan di Kawasan Asean Terkait Kondisi Laut Cina Selatan?
Kelemahan PPKM Darurat
Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM) Darurat yang diberlakukan di Jawa - Bali, 3-20 Juli masih mengandung banyak kelemahan.
Kita tahu perekonomian Indonesia secara Nasional lebih banyak digerakkan oleh sektor informal. Pelaku sektor ini banyak yang berkegiatan sehari -hari hanya untuk merebut hidupnya hanya untuk hari itu saja. Pelaku ini tanpa kantor, lebih banyak bergerak di jalanan.
Miris mengikuti laporan pers yang memperlihatkan, selama PPKM Darurat sektor inilah yang sering secara frontal berhadapah dengan aparat keamanan di berbagai kota. Dari penampakan beberapa video di lokasi kejadian, pedagang kaki lima itulah yang paling menderita : lapak dan gardu atau kiosnya diobrak- abrik petugas tanpa ampun.
Sehari-hari golongan pekerja sektor informal ini juga yang mendominasi antrean dan kerumunan di berbagai ruas jalan masuk kota -kota besar. Petugas mencegat mereka yang kebanyakan tidak bisa menunjukkan surat keterangan kerja dari kantor.
Sekedar mengingatkan, definisi pekerja informal menurut Badan Pusat Statistik ( BPS) meliputi: (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) pekerja bebas di pertanian, (4) pekerja bebas di non pertanian, dan (5) pekerja keluarga/tak dibayar.
BPS mencatat tahun 2020 jumlah golongan pekerja informal itu mencapai 74,04 (56,50 persen) dari jumlah angkatan kerja 137,91 juta.
Sewajarnya pemerintah memberikan perhatian dengan membiayai kebutuhan pokok masyarakat golongan pekerja sektor informal itu selama masa PPKM Darurat. Sesuai dengan amanah Pasal 55 ayat 1 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bunyi Ayat 1 Pasal 55 itu : "Selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat".
Dalam banyak aturan yang diterbitkan pemerintah dalam rangka penanganan pandemi, hanpir kita tidak temukan UU no 6/2018 menjadi dasar pertimbangan. Padahal, itulah UU terbaru mengenai kekarantinaan yang ditandatangani Presiden Jokowi.
Malah, Ketua BNPB / Satgas COVID-19, Jendral Doni Monardo pernah mengusulkan merevisi Pasal 55 UU itu dengan alasan sulit diaplikasikan. ( CNN Indonesia, 18/12/20).
Padahal, pemerintah mau pakai nama atau merek apapun untuk pengendalian pandemi, PSBB, PPKM Mikro, PPKM Pengentalan, dan terbaru PPKM Darurat, tetap substansinya pada pembatasan kegiatan masyarakat. Itu memang menjadi hak pemerintah sesuai pasal 14 Ayat 1 : " Dalam keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, Pemerintah Pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di Pintu Masuk".
Dan, oleh sebab itu menjadi kewajiban pemerintah pula untuk mengaplikasikan Pasal 1 Ayat 1 UU yang sama. Apalagi, Presiden Jokowi sendiri merasa iba terhadao kesulitan masyarakat untuk mencari nafkah di masa PPKM Darurat, seperti dikutip Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Selasa (13/7).
Sekedar mengingatkan, definisi pekerja informal menurut Badan Pusat Statistik ( BPS) meliputi: (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) pekerja bebas di pertanian, (4) pekerja bebas di non pertanian, dan (5) pekerja keluarga/tak dibayar.
BPS mencatat tahun 2020 jumlah golongan pekerja informal itu mencapai 74,04 (56,50 persen) dari jumlah angkatan kerja 137,91 juta.
Sewajarnya pemerintah memberikan perhatian dengan membiayai kebutuhan pokok masyarakat golongan pekerja sektor informal itu selama masa PPKM Darurat. Sesuai dengan amanah Pasal 55 ayat 1 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bunyi Ayat 1 Pasal 55 itu : "Selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat".
Dalam banyak aturan yang diterbitkan pemerintah dalam rangka penanganan pandemi, hanpir kita tidak temukan UU no 6/2018 menjadi dasar pertimbangan. Padahal, itulah UU terbaru mengenai kekarantinaan yang ditandatangani Presiden Jokowi.
Malah, Ketua BNPB / Satgas COVID-19, Jendral Doni Monardo pernah mengusulkan merevisi Pasal 55 UU itu dengan alasan sulit diaplikasikan. ( CNN Indonesia, 18/12/20).
Padahal, pemerintah mau pakai nama atau merek apapun untuk pengendalian pandemi, PSBB, PPKM Mikro, PPKM Pengentalan, dan terbaru PPKM Darurat, tetap substansinya pada pembatasan kegiatan masyarakat. Itu memang menjadi hak pemerintah sesuai pasal 14 Ayat 1 : " Dalam keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, Pemerintah Pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di Pintu Masuk".
Dan, oleh sebab itu menjadi kewajiban pemerintah pula untuk mengaplikasikan Pasal 1 Ayat 1 UU yang sama. Apalagi, Presiden Jokowi sendiri merasa iba terhadao kesulitan masyarakat untuk mencari nafkah di masa PPKM Darurat, seperti dikutip Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Selasa (13/7).
Kebetulan yang mengomandoi PPKM Darurat Jawa -Bali adalah Luhut Binsar Panjaitan juga. Ayo! Tunggu apalagi. Jangan dibalik lagi. Lantaran Presiden iba pada kehidupan rakyat kecil, lalu buru-buru melonggarkan lagi PPKM yang sudah ketat. Itu jelas akan semakin membawa Indonesia menjadi negara "beyond help" dalam penanganan COVID-19. Yang dalam terjemahan orang Betawi : Kagak ketulungan!
Editor: Firmanto
0 comments:
Post a Comment