Ilustrasi. Buku bergambar Natal menunggu di bawah pohon Natal. (Photo: Treasureandchange) |
Kepri -- Forumpublik.com | Di Islandia, suasana Natal belum terasa jika belum terlihat tumpukan buku di bawah pohon Natal.
Jolabokaflod, atau Pesta Buku Natal, adalah tradisi yang telah dirayakan di Islandia sejak tahun 1945.
Ini mirip 'Thursday Super' di Inggris, ketika ratusan buku baru memenuhi rak pada hari Kamis pertama di bulan Oktober. Tetapi jumlah buku di Islandia jauh lebih banyak.
Ratusan judul baru mulai dijual di toko buku dan supermarket dengan harga yang miring, tradisi masa lampau yang juga menjadi vital bagi kelangsungan industri penerbitan.
Pada malam Natal, penduduk Islandia pasti bertukar buku dan menghabiskan malam dengan membaca, mungkin meringkuk di depan api unggun dengan novel kriminal terbaru karangan Arnaldur Indridason - yang menduduki daftar buku terlaris selama dua dekade terakhir di negara yang berpenduduk 360 ribu orang ini.
"Sastra sangat penting di Islandia, dan saya kira bentuk seni itu adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat," seniman dan ibu dua anak, Sigrun Hrolfsdottir, yang tinggal di Seltjarnarnes, sebuah distrik kecil di daerah Reykjavik.
Anak perempuan dan laki-lakinya, Duna dan Gudmundur, telah memilih buku-buku yang mereka inginkan dari Bokatidindi, katalog buku gratis setebal 80 halaman. Katalog Bokatidindi tahun ini menampilkan 842 judul baru.
Hampir tujuh dari 10 orang Islandia membeli setidaknya satu buku sebagai hadiah Natal, menurut Asosiasi Penerbit Islandia.
'Menjadi Orang Islandia Berarti Membaca'
Tradisi sastra di Islandia lahir sekitar 900 tahun yang lalu, seperti yang ditulis dalam buku The Icelandic Sagas - yang dipandang sebagai harta karun dalam sastra dunia dan sejarahnya masih terus dipelajari di sekolah-sekolah Islandia.
The Icelandic Sagas mengisahkan peristiwa yang dialami penduduk Islandia pada abad ke-10 dan ke-11.
Ditulis pada abad ke-13, The Icelandic Sagas berkisah mengenai sejarah, perjuangan, dan konflik yang terjadi antara penduduk dan pendatang di Islandia.
Tradisi Jolabokaflod dimulai saat akhir Perang Dunia II, ketika Islandia yang mengalami keterpurukan ekonomi, memberlakukan pembatasan mata uang ketat yang mempengaruhi impor. Tapi harga kertas tetap terjangkau, jadi buku menjadi hadiah Natal populer kala itu.
Islandia lalu merdeka setelah tujuh abad dikuasai Norwegia dan Denmark.
"Sastra memberi pengaruh besar dalam perjuangan Islandia untuk merdeka dan mencari identitas," kata Halldor Gudmundsson, seorang penulis dan mantan pemimpin perusahaan penerbit terbesar di Islandia, Forlagid.
Jolabokaflod menjadi momen penting bagi industri Islandia, menyumbang 40 persen dari total penjualan buku sepanjang tahun 2018, menurut Badan Statistik Islandia.
"Jika tradisi ini mati, maka penerbitan Islandia ikut mati," kata direktur Pall Valsson, di Bjartur, penerbit terbesar kedua di Islandia, di mana Jolabokaflod menyumbang 70 persen untuk total penjualan tahunan mereka.
Namun "banjir buku" sedikit memberi kesulitan bagi penulis.
"Begitu banyak buku bagus yang jadi kurang populer," aku penulis thriller, Lilja Sigurdardottir, yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis.
Islandia mungkin merupakan negara berpenduduk paling sedikit di Eropa, tetapi menerbitkan judul per kapita terbanyak di belakang Inggris, menurut Asosiasi Penerbit Internasional.
Sekitar satu dari sepuluh orang Islandia pasti pernah menerbitkan buku. Dan mereka pasar pembaca yang besar. Negara ini menghitung ada lebih dari 83 perpustakaan - satu untuk setiap 4.300 penduduk.
Lebih dari 90 persen penduduk Islandia membaca setidaknya satu buku dalam setahun, dan separuhnya membaca lebih dari delapan buku dalam setahun, menurut sebuah studi tahun 2013 dari Bifrost University.
Secara khusus, penduduk Islandia sangat gemar dengan kisah kriminal, seperti penduduk negara tetangga mereka; Swedia, Norwegia, dan Denmark.
'Perjuangan Industri Penerbitan'
Beberapa buku dibeli selama Jolabokaflod di supermarket, di mana rak buku didirikan di dekat makanan beku atau roti, dengan harga yang sangat murah.
Sebelum diskon, harga buku hardback rata-rata 6.990 kronur (sekitar Rp799 ribu), lebih mahal dua kali lipat biaya di Prancis atau Inggris.
"Anda tidak dapat membeli buku sepanjang tahun karena Anda akan bangkrut," kata Brynjolfur Thorsteinsson, seorang penjaga toko berusia 28 tahun di Mal og Menning, salah satu toko buku tertua di Islandia yang berada di Reykjavik.
Mahalnya harga buku berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN), yang naik dari tujuh persen menjadi 11 persen di tahun 2015, untuk biaya pencetakan dan impor - karena Islandia hampir tidak memiliki hutan, jadi buku harus dicetak di luar negeri.
Mahalnya harga buku telah berdampak negatif pada pasar buku di Islandia, dengan penjualan hampir memangkas dua kali lipat sejak 2010.
Dalam upaya untuk mendukung industri penerbitan, pemerintah Islandia memutuskan pada tahun ini untuk mensubsidi 25 persen dari biaya produksi untuk buku-buku yang diterbitkan dalam bahasa Islandia, naik karya asli dan terjemahannya.
Lihat juga:Peneliti Temukan Inovasi Anyar Dalam Memonitor Tekanan Darah Melalui Selfie
Studi Children's Drink Facts: "Minuman Buah Kemasan Tak Sehat untuk Anak"
Kenali Berikut Tanda dan Gejala Menopause Awal pada Wanita
Tempat Lokasi Pernikahan Jennifer Lawrence "Belcourt of Newport" Disebut Berhantu
TWKM XXXI: Mapala Se-Indonesia Bakal Reuni di Pegunungan Maratus
Evaluasi 5 Tahun Kabinet Kerja: Efek Jokowi dan Cita-cita Kiblat Fesyen Muslim 2020
(AFP/Art)
0 comments:
Post a Comment