Ilustrasi. (Detikcom/Ari Saputra). |
Jakarta, Forumpublik.com - Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengaku tidak setuju apabila pemerintah menggelar tax amnesty jilid II. Sejatinya, pengampunan pajak hanya diberikan satu kali. Bukan berkali-kali.
"Tax amnesty yang sering dan jangka waktu pelaksanaannya cukup dekat, hanya akan menunjukkan lemahnya negara dari pengusaha. Ini sinyal buruk bahwa pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok kepentingan," ujarnya, Jumat (2/8).
Perhelatan tax amnesty jilid II, sambung Yustinus, akan mencederai para pengusaha yang sudah bertindak jujur kepada negara dengan melakukan pelaporan pajak pada jilid I.
Justru, ia khawatir hal ini akan memperburuk psikologi para pengemplang pajak untuk semakin menunda pelaporan dan pembayaran pajak kepada negara.
Di sisi lain, ia ragu tax amnesty jilid II merupakan buah pikiran pemerintah. Namun, hanya semata-mata desakan dari para pengusaha kelas kakap yang tak siap menghadapi era keterbukaan dan pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) di bidang perpajakan.
Ia juga tak yakin bila pelaksanaan tax amnesty jilid II akan memberi jaminan kesuksesan yang melampaui jilid pertamanya. Apalagi, bila persiapan dan pelaksanaan tax amnesty dilakukan terburu-buru.
"Aset yang dilaporkan pun rasanya sudah tidak akan besar. Ini juga tidak sepenuhnya akan memastikan tidak ada pelarian kewajiban pajak ke luar negeri," katanya.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah tax amnesty jilid II justru memicu masyarakat semakin lama membayar pajak. Sebab, bukan tidak mungkin akan muncul kecenderungan sengaja menunda pembayaran dan memilih untuk memanfaatkan pengampunan di masa mendatang.
Daripada menjalankan tax amnesty jilid II, Yustinus justru lebih menyarankan pemerintah untuk meneruskan peta jalan (road map) reformasi perpajakan yang sudah dibuat. Dalam peta tersebut, usai memperkuat basis data perpajakan melalui tax amnesty, kini giliran pemerintah menggencarkan pemeriksaan dan penegakan hukum (law enforcement).
Apalagi, kebijakan AEoI sudah resmi diberlakukan. Artinya, pemerintah tinggal mencocokkan kepatuhan pembayaran pajak dari para wajib pajak dengan data aset wajib pajak yang tersebar di sistem keterbukaan informasi dari sejumlah negara di dunia.
"Road map sudah ada, ini berarti tinggal memperkuat IT dan dukungan politik. Setelah Pemilu, seharusnya tidak ada alasan lagi kalau tidak ada dukungan politik," terang dia.
Di sisi lain, kalaupun ingin memberikan stimulus lain guna meningkatkan kepatuhan sekaligus penerimaan pajak, ia melihat hal yang perlu dilakukan pemerintah hanya menjalankan program cicilan pembayaran pajak.
"Misalnya, boleh cicil selama 12 bulan, tapi dendanya tetap berlaku sesuai ketentuan. Bedanya, berikan saja keringanan cicilan," ungkapnya.
Namun, bila pemerintah bersikeras mengadakan tax amnesty jilid II, ia menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tarif denda pajak jangan sampai lebih rendah dari tax amnesty jilid pertama.
Kedua, ketentuan hukum bagi yang tidak juga mengikuti tax amnesty jilid kedua benar-benar diperberat. Dua poin ini agar ada efek jera kepada pengemplang pajak.
Ketiga, pemerintah harus bisa menyiapkan instrumen investasi yang benar-benar menarik agar pengusaha kian tergugah untuk memulangkan dananya ke dalam negeri alias repatriasi.
"Iklim investasi juga harus lebih pasti dan negosiasi dengan DPR harus dipercepat, agar tax amnesty jilid kedua bisa dilakukan pada kurun waktu 2020-2021," jelasnya.
Senada, Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya menilai wacana kebijakan tax amnesty jilid II belum dibutuhkan dan terlalu cepat. Untuk itu, sebaiknya pemerintah menjalankan program reformasi perpajakan dalam bentuk lain terlebih dahulu, misalnya AEoI.
Sebab, ia mengatakan program tax amnesty yang terlalu cepat justru tidak efektif memberi efek jera kepada pengemplang pajak. Selain itu, tren penerapan pengampunan seharusnya memang memiliki jeda.
"Misalnya dulu sudah ada sunset policy di era awal pemerintah Presiden SBY, lalu ada tax amnesty baru di pertengahan pemerintah Jokowi, itu gap-nya sekitar 10 tahunan. Kalau nanti sudah mau ada tax amnesty lagi, terlalu berdekatan. Apalagi, di periode kepemimpinan yang sama," tegas dia.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani melempar wacana akan menggelar program tax amnesty jilid II. Ia memastikan bahwa wacana itu sudah masuk kajian paket reformasi perpajakan yang akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pelaksanaan pemerintahan periode kedua.
"Saya dalam posisi akan menimbang semua suara yang tadi tidak ikut tax amnesty, nanti bisa tidak ada tax amnesty lagi kami akan lihat," ucap perempuan yang akrab disapa Ani itu.
Sayangnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan enggan berkomentar terkait 'celoteh' dari pimpinannya itu. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama hanya meminta publik menunggu penjelasan dan perkembangan wacana dari pimpinannya itu. "Nanti tunggu saja, saya belum bisa kasih statement (pernyataan). Kami diskusikan dulu," ujarnya singkat kepada CNNIndonesia.com.
Namun, wacana dari Ani rupanya disambut baik oleh kalangan pengusaha. Maklum, wacana itu memang berasal dari desakan para pengusaha yang tidak mengikuti tax amnesty jilid pertama yang digelar dari Juli 2016 sampai Maret 2017 lalu.
Menkeu Sri Mulyani Siapkan Rp2 Triliun untuk Subsidi Perumahan
Perang Dagang AS-Cina: Defisit Neraca Dagang Indonesia Tertinggi Sepanjang Sejarah
Luhut: Pariwisata Penyumbang Devisa Paling Menjanjikan di Masa Depan
KPPU Belum Terima Laporan Air Asia Soal Tiket Raib di Aplikasi
KPPU Belum Terima Laporan Air Asia Soal Tiket Raib di Aplikasi
(Bs/Cnn)
0 comments:
Post a Comment